Pasar yang Gelisah
Dinamika Pedagang Pasar Atas Bukittinggi hingga Lesunya Aktivitas Pasar Sejak Pembangunan Baru Jantung Kota. Di hari pertama menginjakan kaki di kampung halaman, beberapa teman yan
Andaikan seseorang meminta saya membangun jembatan atau membuat tiang jemuran, bisa dipastikan tak butuh waktu lama bagi saya untuk menolaknya sebab saya tidak tertarik sama sekali, dan yang paling penting, saya tidak punya kemampuan untuk melakukannya. Namun, di hadapan Ogy Wisnu Suhanda, seorang kawan yang murah senyum, saya tak kuasa menolak permintaannya. Permintaannya jelas tak berhubungan dengan membangun jembatan atau menegakkan tiang jemuran. Ia meminta saya untuk menyunting sekaligus menuliskan catatan editorial untuk kumpulan esai Projek Bamain Bagurau yang diinisiasi oleh Forum Studi Ladang Rupa.
Secara Umum, Projek Bamain Bagurau ingin menelusuri permainan tradisional yang masih dimainkan anak-anak di daerah Agam, Bukittinggi, dan sekitarnya. Lebih lanjut Ogy, atau yang biasa dipanggil Cugik, menceritakan program ini merupakan tindak lanjut dari keresahan dari teman-teman di Ladang Rupa mengenai kondisi permainan tradisional sekarang.
Permainan tradisional adalah bagian dari masa kecil saya. Alasan itulah yang membuat saya tak kuasa menolak permintaan Cugik. Ada semacam perasaan nostalgia yang muncul begitu saja dalam diri saya, yang menurut Kamus Merriam-Webster, nostalgia adalah semacam kerinduan
yang menyedihkan atau terlalu sentimental untuk kembali ke beberapa periode masa lalu atau kondisi yang tidak dapat dipulihkan. Tahun demi tahun berlalu dan saya melihat bagaimana permainan itu perlahan ditinggalkan dan kehilangan daya tarik bagi anak-anak. Waktu, tak dapat
disangkal lagi, telah mengubah banyak hal—permainan tradisional adalah salah satunya.
Ingatan dan waktu bukanlah konco pelangkin. Waktu membuat ingatan semakin buram, seperti bintik embun yang menempel pada kaca. Upaya yang dilakukan partisipan Projek Bamain Bagurau untuk menelusuri permainan tradisional anak nagari adalah usaha untuk mencatat kembali masa lalu—ingatan kolektif banyak anak-anak. Program dari Forum Studi Ladang Rupa ini tentu perlu diapresiasi.
Dalam kumpulan esai ini, kita diajak untuk mengenal lebih jauh tentang permainan tradisional. Partisipan sekaligus penulis bercerita tentang cara membuat badia-badia batuang, macam-macam permainan gambar yang bisa dimainkan, cerita tentang layang-layang, nilai nilai positif dalam permainan karet tali merdeka, dan banyak cerita lain. Di samping itu, penulis juga menceritakan pengalaman mereka dengan banyak narasumber, diskusi tentang permainan masa sekarang, bahkan mendengar cerita masa kecil narasumber. Semua itu mereka ceritakan dengan asyik, seperti menulis catatan perjalanan.
Sebagaimana orang-orang bijak yang sering menggunakan frasa “dua sisi koin” untuk menceritakan dua sisi dari sebuah cerita, penulis juga dipertemukan dengan kenyataan bahwa
permainan tradisional sudah jauh bergeser dari apa yang dulu mereka alami.
Untuk menelusuri permainan tradisional secara lebih mendalam, banyak hal yang bisa dijadikan sebagai patokan untuk mengetahui lebih banyak mengenai permainan tradisional: Bagaimana asal usul dan perkembangan suatu permainan tradisional, apa kaitan suatu permainan dengan
lingkungan tempat tinggal, seperti apa aturannya, bagaimana cara membuatnya, bagaimana dampak permainan terhadap kesehatan, apakah permainan tradisional mencerminkan budaya dan kearifan lokal masyarakat tertentu, bagaimana perubahan zaman terhadap permainan tradisional, dan sebagainya.
Lewat kumpulan esai ini, meski tidak semua, penulis sekaligus partisipan Projek Bamain Bagurau telah membahas beberapa hal di atas. Lewat wawancara dengan berbagai narasumber, sebagian besar partisipan menceritakan bahwa era digital dan internet, adalah penyebab utama permainan tradisional mulai ditinggalkan. Anak-anak sekarang lebih cenderung memilih bermain ponsel. Padahal permainan anak nagari
tidak sekadar hiburan, tetapi merupakan cerminan hidup sehari-hari, nilai-nilai sosial, harmoni
antara manusia dan alam.
Permainan tradisional secara umum sarat dengan gerak tubuh yang berkaitan erat dengan tumbuh kembang anak, sebagaimana yang ditulis Ade Syukri Kurniawan dalam Bakumpua Bamain, saat mengikuti kelas materi Yosi Molina S.Psi, M.Psi
“—hampir dari seluruh permainan tradisional membawa manfaat untuk stimulasi tumbuh kembang anak. … Beberapa di antaranya adalah: anak terlatih untuk menjaga keseimbangan tubuh, menjadi pribadi yang sportif, tidak takut tantangan, lebih percaya diri, dan banyak lagi manfaat lain untuk perkembangan si anak.”
A.A. Navis dalam buku Alam Terkembang Jadi Guru, Adat dan Kebudayaan Minangkabau, menjelaskan bahwa permainan rakyat Minangkabau bersifat terbuka, oleh rakyat dan untuk
rakyat, sesuai dengan sistem masyarakatnya yang demokratis yang mendukung falsafah persamaan dan kebersamaan antara manusia. Hal yang hampir serupa juga dicatat oleh Masnur Al Saleh dalam Manas Ciek Luh, bahwa permainan anak nagari dalam konteks sosial budaya merupakan kultur dari suatu masyarakat dalam suatu daerah tertentu, tetapi perlahan kultur tersebut luntur karena adanya perilaku konsumtif akibat dari revolusi industri.
“Prof. Yasraf Amir Piliang, Guru Besar di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, menjelaskan proses hilangnya atau tidak diminatinya permainan tradisional di masa sekarang. Ia
mengatakan, permainan tradisional tidak lagi diminati disebabkan revolusi industri dan masuknya era digitalisasi. Revolusi industri menyebabkan masyarakat yang sebelumnya
sebagai produsen menjadi konsumen. Sebagai contoh, anak anak yang dulunya bermain perang-perangan membuat sendiri pistolnya dengan batang pisang, sekarang pistol mainan sudah diproduksi oleh industri dan disebar ke pasar dan warung-warung.
—anak-anak yang memainkan permainan tradisional cenderung membuat aturan sendiri, sedangkan anak-anak yang bermain game dengan gadget cenderung didikte oleh aturan-aturan yang tersedia. Industri telah mengubah anak-anak yang dulunya aktif menjadi pasif dalam bermain.”
Pada tulisan Taragak Main Kajai, Dini Triadi menceritakan obrolannya dengan Marsha. Permainan tradisional tidak hanya digeser oleh masifnya penggunaan ponsel pintar, tetapi juga
bagaimana ruang bermain anak seperti lapangan telah disemen, digusur untuk kepentingan lain. Hal yang sama juga diceritakan Ryan Patrio bahwa lapangan tempat bermainnya waktu kecil telah berubah fungsi menjadi lapangan parkir.
“—Lapangan tu ndak ado lai, Kak. Lah basemen se sadonyo, Kak. Kadang-kadang kalo ndak ado paket [kuota internet] kawan kawan tu lai sasakali main jo kami. Dakek lapangan heler bareh ko kami main, Kak.”
Permainan tradisional erat kaitannya dengan keadaan lingkungan. Andryan Putra, misalnya, menceritakan dalam Bukan Hanya Sekadar Bermain yang singgah ke daerah yang berdekatan dengan Ngarai Sianok—di sana banyak sekali kawanan monyet.
“Kami menuju Nagari Kayu Kubu yang lokasinya berdekatan dengan objek wisata Lobang Jepang dan Ngarai Sianok. Kami singgah di sebuah warung dan mengobrol dengan salah satu
warga yang bernama Bu Epi. Beliau selalu memegang ketapel. Dari obrolan tersebut kami mengetahui bahwa ketapel itu digunakan untuk mengusir monyet yang sering masuk ke
pemukiman warga. Ketapel ini merupakan hasil karya anak-anak setempat untuk melawan monyet yang sering mengganggu.”
Dalam tulisan Ketek Bamain, Gadang Bamain, Ryan Patrio juga mengenang masa kecilnya bermain layang-layang. Di mana layang-layang dimainkan di sawah seusai musim panen.
Sawah merupakan tempat yang lapang dan cocok sekali untuk memainkan layang-layang. Tidak hanya di daerah darek, permainan layang-layang juga dimainkan di daerah pesisir, seperti yang diceritakan Benny Saputra dalam Menjemput Ingatan.
“Beberapa kali Da Wan membuat layang-layang hias dan menjualnya di daerah Painan, Pariaman, Padang, dan daerah yang rata-rata terdapat tempat wisata pantai. Kadang Da
Wan juga menerima beberapa pesanan dari daerah lain.”
Barangkali ada banyak permainan tradisional lain, di daerah lain di Indonesia, yang merepresentasikan keadaan lingkungan tempat tinggal. Di permukiman padat dan permukiman
yang lapang, misalnya, permainan tradisional bisa saja berbeda bentuk dan jenis sebab dipengaruhi oleh tempat, seberapa luas area bermain, dan seterusnya.
Selain itu dalam kumpulan esai ini diceritakan bahwa permainan tradisional adalah permainan yang diajarkan dan dimainkan turun-temurun. Banyak narasumber dari partisipan
yang menceritakan masa kecil mereka dan permainan apa yang mereka mainkan. Misalnya saat membuat badia-badia batuang dan layang-layang. Kemampuan mereka untuk menciptakan suatu permainan ternyata diajarkan oleh orang-orang yang lebih tua di sekitar mereka
Bayu Rahmat dibawa kembali ke masa lalu oleh Om Ujang dalam tulisan Memories of Uncle Ujang. Saya membayangkan Om Ujang bercerita dengan semangat, sama antuasiasnya dengan Muhammad Radjab yang menceritakan masa kecilnya bermain meriam betung dan petasan saat malam takbiran di buku Semasa Kecil di Kampung.
Muhammad Fadli lewat tulisan Mengasah Insting di Panganak, membayangkan badia-badia batuang yang ia buat bersama Bintang dan Latif bisa jadi representasi dari budaya berburu babi dalam masyarakat Minangkabau yang dilakukan dengan bantuan anjing terlatih dan bedil.
Modernisasi dan kemajuan teknologi barangkali bisa dianggap menggerus popularitas permainan tradisional. Melawan modernisasi dan teknologi tak ubahnya bagai menegakkan
benang basah—sia-sia belaka.
Barangkali hal yang bisa didiskusikan bersama adalah bagaimana cara mengintegrasikan elemen-elemen modern ke dalam permainan ini supaya permainan anak nagari ini bisa tetap lestari namun tidak mengubah esensi dan nilai-nilai yang terdapat dalam permainan tradisional.
Untuk merayakan dan melestarikan permainan tradisional yang dulu pernah kita mainkan, sudah seharusnya kita juga memperkenalkan permainan-permainan itu pada anak-anak di sekitar kita. Waktu boleh berjalan, tetapi permainan jangan berhenti.
Selamat membaca
Dinamika Pedagang Pasar Atas Bukittinggi hingga Lesunya Aktivitas Pasar Sejak Pembangunan Baru Jantung Kota. Di hari pertama menginjakan kaki di kampung halaman, beberapa teman yan
DI era 1990-an, kita belum mengenal permainan modern seperti Playstation, online game, internet, dan komputer. Anak-anak juga belum mengenal ponsel, apalagi smartphone. Televisi pu
Andaikan seseorang meminta saya membangun jembatan atau membuat tiang jemuran, bisa dipastikan tak butuh waktu lama bagi saya untuk menolaknya sebab saya tidak tertarik sama sekali
Manas ciek luh! adalah ungkapan anak-anak Minangkabau di dalam sebuah permainan. Ungkapan tersebut bertujuan untuk meminta jeda sejenak bisa jadi karena kelelahan, haus, kaki kesem
Nagari Pandai Sikek terkenal dengan kerajinan songket yang sangat diminati oleh wisatawan terutama wisatawan asing dan wisatawan dari luar Sumatra Barat. Nagari ini terletak di kak
Kota Bukittinggi adalah kota yang dikenal sebagai kota wisata. Ada banyak pilihan tempat yang bisa dihabiskan bersama keluarga. Ada kebun binatang Kinantan, Jam Gadang, Ngarai Sian
Pameran ini merupakan pertunjukan lukisan dan sketsa Harmen Moezahar yang mengambarkan suatu kecenderungan yang muncul secara global pada seluruh karyanya. Istilah teater yang dima
Seniman adalah manusia, selama hidupnya berlangsung dan jiwanya berkembang, sebagai manusia ia menjadi bagian dari masyarakat bahkan hasil dari masyarakat itu sendiri. Sejatinya ma
Bioskop Taman kali ini menampilkan salah satu film neorealis Italia karya Luchino Visconti yang berjudul La Terra Trema atau jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Bum