Pasar yang Gelisah
Dinamika Pedagang Pasar Atas Bukittinggi hingga Lesunya Aktivitas Pasar Sejak Pembangunan Baru Jantung Kota. Di hari pertama menginjakan kaki di kampung halaman, beberapa teman yan
Kota Bukittinggi adalah kota yang dikenal sebagai kota wisata. Ada banyak pilihan tempat yang bisa dihabiskan bersama keluarga. Ada kebun binatang Kinantan, Jam Gadang, Ngarai Sianok, Pasar Atas dan Pasar Bawah, dlsb. Selain itu Bukittinggi juga banyak memiliki bangunan cagar budaya yang masih terjaga hingga sekarang, walaupun ada beberapa yang belum terawat secara maksimal. Bagaimanapun kota ini tetap menjadi kota yang paling lasuah bagi saya pribadi. Saya lahir dan dibesarkan di kota Bukittinggi. Dari ketek bamain sampai gadang bamain (dari kecil bermain sampai dewasa pun terus bermain) di kota Bukittinggi.
Saya adalah partisipan projek Bamain Bagurau yang dilaksanakan Forum Studi Ladang Rupa. Projek ini berkaitan dengan permainan tradisional yang masih dimainkan anak-anak di kawasan Bukittinggi dan sekitarnya. Projek ini membuat saya berkesempatan mengenang memori ingatan akan diri yang dahulu. Setidaknya itulah yang saya pikirkan. Masa kecil adalah waktu yang begitu menyenangkan. Kami berlarian, melompat-lompat di area sempit di antara rumah rumah hanya untuk sembunyi dari pencarian teman-teman saat bamain mancik mancik (petak umpet). Permainan ini dilakukan beramai-ramai, bersama teman sebaya di sekitaran rumah saya. Area rumah saya berada di lingkungan yang lumayan padat pemukimannya, tetapi masih ada dua lapangan yang cukup luas untuk bermain bola, main potok lele1, main semba lakon/ elang semba/ lakon samba2, main kampar3, dan masih banyak lagi. Sesekali lapangan itu disulap oleh uda-uda menjadi area balap sepeda. Waktu itu sepeda sangat populer di kalangan anak-anak.
Sewaktu kelas dua SD saya tinggal di Gurun Panjang. Gurun Panjang terletak di kelurahan Pakan Kurai, kecamatan Guguak Panjang kota Bukittinggi. Di sinilah memori tentang permainan masa kecil mulai terekam di ingatan saya. Saya lalu pindah rumah kelas tiga SD, tetapi saya masih bermain di area Gurun Panjang sampai saya SMA. Di sana sempat juga saya melihat pertandingan layang-layang di sawah. Biasanya lomba layang-layang akan diadakan usai petani memanen padi di sawah.
Dalam permainan layang-layang, anak-anak biasanya berperan sebagai tim dadakan, menolong uda (abang) atau mamak (om) yang bermain layangan. Mereka berperan sebagai “tukang onjo layang” atau yang memegang layangan saat lomba akan dimulai. Sebagai tukang onjo kita mesti memperhatikan arah kepala layangan agar tidak menukiak (menancap) ke kiri dan kanan agar layangan bisa terbang lurus. Tukang onjo juga mesti melihat kondisi peserta lain di sebelahnya, supaya layangan yang ikut bertanding tidak mengenai layangan lawan di sebelahnya. Keseimbangan menjadi pertimbangan yang cukup penting dalam permainan ini.Ada pula anak yang berperan sebagai pengejar layangan putus. Andai layangan yang putus berhasil ditemukan dan dikembalikan ke mamak pemain layangan, si anak akan dikasih uang saku sebagai imbalan. Ada juga anak yang ke lapangan hanya sekadar memungut dan menggulung sisa benang dari layangan yang putus atau benang sisa di lapangan. Saya pun juga tak luput dari kegiatan ini, sebab benangnya bisa digunakan untuk bermain layangan maco, sebutan untuk layangan kecil yang kami mainkan. Layangan maco adalah layang-layang bangun datar dua dimensi, dibentuk oleh dua pasang rusuk (menggunakan benang) yang masing-masing rusuk (benang) pasangannya sama panjang dan saling membentuk sudut.
Begitu banyak pilihan permainan semasa kecil saya. Ada pula permainan-permainan musiman: main kampar, layang-layang, kelereng, musim gambar, atau main potok lele. Dalam bermain potok lele (Patil Lele)4 kita mesti lihai mengatur posisi tubuh agar akurasi pukulan pada anak tongkat agar tembakan anaknya bisa jauh. Pada permainan kampar keseimbangan dan ketepatan mengenai gundu (kelereng) lawan sangat diperhitungkan. Ada pula permainan galah di mana kekompakan dapat menjadi kunci utama kemenangan tim.
Namun, saya juga menyadari bahwa permainan rakyat yang sarat akan nilai-nilai positif sekarang sudah mulai bergeser atau ditinggalkan anak-anak.
Setelah memulai lokakarya “Bamain Bagurau”, saya melihat ada pergeseran atau perubahan pola bermain di lingkungan anak-anak. Banyak faktor yang mungkin mempengaruhi, salah satunya lapangan dan tanah tempat mereka bermain. Lapangan dulu sudah banyak berubah menjadi lahan perumahan. Jalan-jalan gang komplek perumahan sudah beraspal. Waktu saya kecil jalannya masih tanah sehingga bisa digunakan untuk bermain kelereng, sebab dalam permainan kelereng dibutuhkan lubang kecil dan itu hanya bisa dibuat jika lahannya masih tanah. Sewaktu saya kecil, saya juga ikut membuat benang kaca atau benang gelasan bersama uda di sekitaran rumah untuk layang aduan. Di sini masih terasa berbagai lapisan umur ikut bermain; yang besar bisa mengajarkan anak yang lebih kecil untuk menjadi kreatif. Apabila dulu tidak ada pistol-pistolan, saya bersama teman-teman dengan kreatif mengolah batang talas untuk menjadi pistol-pistolan. Batang bambu yang kecil pun bisa menjadi alat bermain.
Semenjak perkembangan teknologi makin pesat, semakin banyak anak-anak beralih ke permainan digital seperti V-Com, Nintendo, dan Playstation. Bahkan sekarang anak-anak sudah dapat mengakses permainan langsung melalui ponsel masing-masing tanpa harus mendatangi tempat rental playstation. Sungguh kemajuan yang sangat cepat, bukan? Kemajuan teknologi tentu tak bisa dibendung. Namun, di sisi lain kemajuan teknologi juga bisa menyebakan hilangnya minat anak-anak terhadap permainan rakyat yang sifatnya lebih ke kreatifitas dan praktik fisik dalam bamain. Alhasil permainan yang dulu saya dan teman-teman mainkan sekarang sangat sulit ditemukan (mungkin hanya akan dimainkan saat ada perayaan perayaan kemerdekaan saja). Dalam materi lokakarya “Bamain Bagurau” yang diadakan Forum Studi Ladang Rupa, saya berkesempatan mendengarkan beberapa kelas diskusi sebagai pijakan awal untuk melakukan riset. Diskusi tersebut membahas media bersama Ogy atau Cugik, tentang kepenulisan bersama Randi Reimena atau biasa kami panggil Bang Bandit, serta permainan dan psikologi bersama
Mandeh Yosi Maulina. Dari kelas diskusi tersebut saya menyadari permainan tradisional yang dimainkan di masa kecil tak hanya soal rasa senang dan bahagia saja. Mandeh Yosi mengatakan permainan tradisional dapat menjadi media untuk untuk perkembangan kecerdasan anak. Dalam permainan tradisional kita banyak menggunakan gerakan-gerakan tubuh yang memiliki fungsi tersendiri karena gerakan menjadi stimulus untuk perkembangan anak. Begitu banyak manfaat permainan tradisional untuk perkembangan anak yang mesti diberitahukan lewat berbagai cara, setidaknya si anak tahu bahwa permainan tradisional memiliki banyak sisi positif. Saat pembekalan materi “Psikologi dan Permainan”, kami juga dikunjungi Prof. Yasraf Amir Piliang, guru besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB. Beliau mengatakan apabila permainan tradisional hilang maka salah satu bagian dari kebudayaan kita juga hilang. Anak-anak yang banyak kehilangan minat bermain permainan tradisional ternyata diawali dengan revolusi industri dan masuknya era digitalisasi. Dahulunya permainan anak-anak memanfaatkan alam sekitar, kemudian mulai berubah dengan membeli mainan yang sudah jadi, atau disebut juga prilaku konsumtif.
Sebagaimana yang dijelaskan Prof. Yasraf, era digitalisasi turut mengubah permainan analog ke permainan digital. Digitalisasi merubah konteks dalam permainan yang dahulunya aturannya dibuat sendiri, tetapi di era digital aturan permainan sudah diatur sedemikian rupa oleh program. Program Bamain Bagurau yang diadakan Ladang Rupa di tahun 2023 ini membuka kesempatan lagi bagi saya untuk menyelami masa kecil soal permainan tradisional yang dulu sempat saya mainkan. Menjadi tugas semua kalangan tentunya agar permainan tradisional ini tetap bisa bertahan di tengah gempuran era digital seperti zaman sekarang.
Bisa dibilang permainan anak nagari pada era sekarang semakin turun saja peminatnya. Entah kalah mengadapi roda zaman atau entah hilang karena tidak ada penerusnya. Kemajuan di segala bidang telah berhasil merubah kebiasaan dan tatanan terdahulu, tak terkecuali permainan rakyat. Bamain telah berubah, baik pola maupun jenis alat permainannya.
Riset Lapangan
Hari Pertama…
Setelah lokakarya (Kelas Lasuah) diadakan selama tiga hari, saya dan partisipan lainnya mulai melakukan riset di sekitaran kampung masing-masing dan sekitaran kota Bukittinggi. Pada hari pertama saya mulai dari lingkungan terdekat, sekitaran Balairungsari (sekre Ladang Rupa) ke arah By Pass. Di pertigaan jalan di Parik Natuang ada sebuah lapangan yang difungsikan untuk bermain bola oleh anak kecil sekitaran lapangan. Saya lalu menuju daerah Gurun Panjang. Nah karena rumah saya di Gurun Panjang maka saya pergi ke tempat saya dulu bamain bersama teman-teman, seperti ke Lap Petandos Gurun Panjang dan lapangan Tek Ceik. Namun, sekarang lapangan Tek Ciek sudah beralih fungsi menjadi lahan parkir warga Gurun Panjang.
Setelah dari Gurun Panjang saya melanjutkan ke Sawah Paduan. Dari Sawah Paduan saya bisa melihat gedung Balairung Sari tampak depan. Di sini saya bersama Ali, partisipan lain, sempat berhenti untuk mengambil data berupa foto Balairung Sari tersebut. Kami lalu melanjutkan perjalanan menuju Ipuah Mandiangin. Saya tertarik ke Ipuah karena sebelum observasi dimulai saya sempat ngobrol dengan Om Antok dan Ante Mis di warung lotek Ante Mis, letaknya di pertigaan jalan menuju rumah saya. Kami ngobrol soal permainan nan lamo (permainana zaman dulu). Saya menanyakan ke Ante Mis soal aktivitas bamain anak-anak sekitaran komplek Pulai.“Alah jarang bana. Umpamo indak ado yang bamain pamainan lamo itu lai,” jawab Ante Mis. Om Antok juga ikut bicara soal pamainan anak nagari yang sudah mulai kehilangan peminatnya. Ternyata Om Antok sama gelisahnya soal permainan anak nagari yang sudah mulai menghilang. Saya lalu mengutarakan niat untuk mencoba mencari data kembali soal permainan anak nagari yang sedang berkembang di era saat ini. Om Antok menyarankan untuk pergi ke daerah Ipuah untuk memperhatikan dan mengamati apa saja permainan yang dimainkan anak anak di sana. Setelah perbincangan yang cukup lama, saya dan Om Antok bertukar nomor Whatsapp.
Untuk selanjutnya saya akan main ke Ipuah sebab ada Om Antok tempat saya bertanya. Kami, saya dan Ali, sampai di Ipuah. Kesan pertama saya melewati daerah ini sama saja seperti halnya daerah yang saya lewati sebelumnya. Kami belum menemukan lapangan yang dimaksud oleh Om Antok. Kami lalu menemukan warung gorengan. Ibu penjual goreng itu adalah Bu Eli, penjual sekaligus penjaga sekolah SD Negeri 15 Pulai Anak Air, tempat saya sekolah dulu. Kami lalu ngobrol seputaran saya sekolah dahulu. Setelah itu saya menanyakan soal permainan anak nagari yang dimainkan di sekitaran Ipuah kepada Ibu Eli.
“Permainan seperti kampar, cakbua, main benteng dan sepak tekong sudah jarang sekali tampak dimainkan,” ucap Ibu Eli dan anaknya yang membantu berjualan.Saya bertanya ke pada Ibu Eli di mana lokasi biasanya anak-anak Ipuah bermain untuk menghabiskan waktu senja. Ternyata sama dengan yang diucapkan Om Antok yaitu di halaman Ipuah tersebut. Kami ke sana dan menemukan lapangan yang dimaksud beserta anak anak yang sedang bermain di sana.
Di lapangan ini saya melihat ada dua kelompok bermain, yang satu bermain bola dan yang satu lagi ada anak kecil sedang bermain pasir. Sembari memperhatikan anak-anak ini bermain, lewatlah ibu-ibu yang ternyata juga kawan dari papa dan mama saya. Saya kaget juga bertemu beliau. Ternyata rumahnya berada di Ipuah. Dalam pertemuan singkat itu saya dan Buk Linda bercerita tentang anak-anak sekitaran Ipuah. Saya menceritakan ke Buk Linda bahwa kami telah melewati beberapa daerah di Bukittinggi untuk mencari anak-anak yang memainkan permainan nan dahulu. Tetapi masih saja yang ditemukan kebanyakan bermain bola, tak terkecuali di Ipuah.
Setelah banyak ngobrol dengan Buk Linda, kami melanjutkan perjalanan menuju Bukik Apik. Di sini saya menemukan anak-anak berjalan sambil memainkan pucuak ubi (daun ubi kayu) yang dijadikan baling-baling. Terknik memainkannya adalah dengan memotong lembar daun menjadi sekitaran 5cm lalu menyelipkan jari di antara lembar daun yang tersisa, kemudian diputar sehingga menjadi baling-baling.
Ali bertanya pada anak-anak apakah mereka masih memainkan badia batuang yang gundunya dari putik jambu biji. Mereka menjawab masih memainkannya. Ali sangat tertarik untuk kembali ke lokasi ini. Dikarenakan sudah magrib saya kembali ke Balairung untuk ngobrol dengan teman setelah menemukan data yang didapat hari itu.
Observasi hari berikutnya…
Perjalanan berikutnya kami mulai dari daerah Tigo Baleh. Kami hanya menemukan anak-anak bermain bola dari kejauhan. Oiya hampir lupa saya memberi tahu, perjalanan hari ini saya masih ditemani Ali, seorang kawan yang sedang fokus sebagai petani urban dengan toko beras bernama Ajimarnya.
Kami lalu melanjutkan perjalanan ke Kubang Putiah. Dalam perjalanan hari ini saya dan Ali sepakat untuk memperhatikan dan mengamati anak-anak bermain bersama di beberapa titik. Sehabis dari Kubang Putiah kami menuju Simpang Taluak. Di sekitaran masjid Simpang Taluak kami menemukan anak-anak bermain mancik-mancik (petak umpet). Kami cukup senang melihat masih ada yang memainkan permainan ini. Saya sempat merekam video selama beberapa detik saja dikarenakan mereka fokus berlari. Menyenangkan bisa melihat mereka berlari ke sana ke sini sambil tertawa bersama-sama. Hal itu membuat saya langsung merindukan masa kanak kanak dahulu.
Kami terus melanjutkan perjalanan menuju Aua Ateh. Saya dan Ali melewati gang kecil. Dalam pencarian di sini kami cuma menemukan anak-anak bermain bola. Karena tak menemukan yang kami cari, saya dan Ali melanjutkan perjalanan ke Birugo melewati komplek elit Tangah Jua. Kondisinya sama, entah karena waktu saya yang salah untuk mencari anak-anak atau karena belum memasuki musim permainan. Mengingat-ingat waktu masa kecil dulu, saya menyadari ada jam tertentu dalam bamain, tanpa disepakati, tanpa aturan yang baku, anak-anak bakalan berada pada titik kumpul yang sama. Dulu saya dan teman-teman sekitaran rumah biasanya berkumpul di kedai Ante Des.
Sehabis dari Birugo kami melanjutkan perjalanan Belakang Balok. Kami menemukan anak anak dan pemuda bermain bola takraw di lapangan kecil sesudah persimpangan sebelah kanan dari Pilar Kopi. Saya dan Ali terus melanjutkan perjalanan berkeliling kota untuk mencari anak anak yang bermain permainan tradisional, tetapi masih saja sulit ditemui hingga akhirnya kami sampai di daerah Sanjai. Di sana ada bangunan balairung terbuka di tengah sawah yang menjadi tempat nongkrong serta memancing bagi warga. Saya bertemu Dedi, teman SMP saya dahulu. Kami bercerita mengenai permainan anak nagari. Hasilnya sama: permainan itu sudah kurang peminatnya sebab anak-anak lebih memilih gadget canggih untuk bermain mobile legend ketimbang main lompat tali merdeka atau main lompek tali5 atau main semba lakon. Karena sudah terlanjur sore dan tak menemukan anak-anak bermain, saya dan Ali memutuskan balik ke Balairung Sari untuk membahas hasil observasi hari ini. Kesan saya riset “Bamain Bagurau” cukup menyenangkan walaupun belum sesuai dengan yang kami inginkan.
Hari berikutnya…
Observasi kami mulai setelah asar dengan target kembali berkeliling Bukittinggi untuk mencari, memperhatikan, serta mendokumentasikan anak-anak yang menghabiskan sore hari sambil bermain di lapangan atau gang kecil sekitaran rumah mereka.
Perjalanan kali ini saya pergi bersama Andi. Andi merupakan partisipan dalam program “Bamain Bagurau”, sekaligus penulis dalam riset kali ini. Perjalanan dengan Andi dimulai dari daerah Simpang Tarok. Di sana masih ada lapangan yang digunakan untuk kegiatan masyarakat. Sayangnya saat itu tidak anak-anak yang sedang bermain di sana.Saya dan Andi lanjut menuju Tangah Jua. Di komplek itu kami bertemu anak-anak membawa rangka layang-layang Danguang. Disebut layang-layang Danguang (dengung) karena layang-layang ini berdengung saat diterbangkan. Bentuknya mendekati (seperti) alang-alang paruah, tetapi di kepalanya (di atasnya) paruh diganti daguang. Layang-layang ini tidak berekor atau berjurai-jurai.
Kami berhenti untuk bertanya-tanya soal layangan. Ternyata layang-layang itu layangan buatan sendiri. Anak ini bernana Irfan. Saya menanyakan permainan tradisional lain yang dimainkan anak-anak di sana, dan ternyata juga sudah sangat jarang dimainkan. Beberapa dari mereka bahkan tidak tahu jenis permainan lama seperti kampar, potok lele, dan permainan lain.
Dari Tangah Jua kami berlanjut ke Aua Ateh. Hasilnya masih nihil, bahkan anak-anak sulit ditemui. Kami lalu menuju jalan Manunggal di Ipuah, Kecamatan Mandiangin. Saat melewati gang perumahan warga di persimpangan di sebelah warung harian, kami menemukan sekelompok anak kecil yang sedang asik bermain tapuak angin. Ya, permainan ini dahulu juga pernah saya mainkan sewaktu kecil. Gambar yang ditepuk harus keluar dari kotak atau terbalik gambarnya, barulah bisa mendapakan gambar lawan. Nah kalau sekarang, anak-anak ini menggunakan stik es untuk memainkan tapuak angin ini. Aturannya pun masih sama, yaitu harus keluar kotak dahulu agar stik lawan menjadi milik kita. Sebelum azan magrib mereka membubarkan diri pulang. Sebelum pulang mereka menebarkan mainan ke langit untuk diperebutkan. Istilahnya kalau dulu adalah “manciretai”, sejenis ungkapan membuang tak gambar ke langit dan jatuh untuk diperebutkan teman-teman.
Azan magrib pun bergema. Kami balik ke sekretariat Ladang Rupa untuk berdiskusi kecil kecilan, membahas rute dan temuan hari ini.
Keesokan harinya saya mengamati keponakan dan teman-temannya bermain di sekitaran komplek. Di sini terasa jelas perbedaan permainan yang dimainkan di area komplek dengan area yang ada lapangannya. Meski masih dalam kegiatan lari-larian yang sama, tetapi jenis permainannya tampak sedikit berbeda. Bermain di komplek tak sebegitu leluasa seperti bermain di lapangan. Mereka hanya memainkan stiker stiker yang sedang populer, sedangkan yang saya temui di Ipuah Mandiangin anak yang bermain di lapangan cenderung bermain pasir dan bermain bola.
Jumat, 1 September 2023, saya kembali lagi ke Ipuah untuk melihat persiapan permainan KIM yang akan diadakan oleh warga Ipuah. Permainan KIM sudah tidak asing lagi bagi masyarakat Minangkabau. Saya ke sana sore hari. Saya kemudian bertemu dengan ibu-ibu, pemuda, serta perangkat desa yang sedang berkoordinasi untuk kegiatan main KIM esok harinya.
Di lapangan sudah mulai dipasang umbul-umbul dan bendera marawa pertanda akan ada alek atau acara di kampung tersebut. Hari itu lapangan Ipuah sedang ramai-ramainya. Suasana sore itu menyenangkan, cocok untuk anak-anak beraktifitas di lapangan. Ada yang bermain bola, ada juga yang bermain kayang. Dalam bermain kayang dibutuhkan keseimbangan dan lengan yang kuat agar bisa bertahan lebih lama dari teman-teman yang lain, tetapi mesti juga berhati-hati. Jika posisi jatuh tidak tepat kaki bisa terkilir karena benturan. Sayangnya tak banyak perbincangan dengan anak-anak yang bermain kayang sore itu.
Hingga tulisan ini dibuat saya tidak kembali lagi ke Ipuah karena tulisan ini mesti diselesaikan. Setelah bebrapa hari melakukan observasi dan perjalanan menelusuri permainan rakyat, saya seperti menemukan lagi kenangan dan memori lama, merawat ingatan dan nostalgia. Namun, sesungguhnya perjalanan ini lebih dari itu. Tak hanya soal ingatan seseorang melainkan tradisi budaya itu sendiri, yang saya dan kawan-kawan coba untuk mengikatnya dalam sebuah buku hasil observasi Bamain Bagurau.
Sungguah dari ketek bamain, sampai gadang bamain.
Dinamika Pedagang Pasar Atas Bukittinggi hingga Lesunya Aktivitas Pasar Sejak Pembangunan Baru Jantung Kota. Di hari pertama menginjakan kaki di kampung halaman, beberapa teman yan
DI era 1990-an, kita belum mengenal permainan modern seperti Playstation, online game, internet, dan komputer. Anak-anak juga belum mengenal ponsel, apalagi smartphone. Televisi pu
Andaikan seseorang meminta saya membangun jembatan atau membuat tiang jemuran, bisa dipastikan tak butuh waktu lama bagi saya untuk menolaknya sebab saya tidak tertarik sama sekali
Manas ciek luh! adalah ungkapan anak-anak Minangkabau di dalam sebuah permainan. Ungkapan tersebut bertujuan untuk meminta jeda sejenak bisa jadi karena kelelahan, haus, kaki kesem
Nagari Pandai Sikek terkenal dengan kerajinan songket yang sangat diminati oleh wisatawan terutama wisatawan asing dan wisatawan dari luar Sumatra Barat. Nagari ini terletak di kak
Kota Bukittinggi adalah kota yang dikenal sebagai kota wisata. Ada banyak pilihan tempat yang bisa dihabiskan bersama keluarga. Ada kebun binatang Kinantan, Jam Gadang, Ngarai Sian
Pameran ini merupakan pertunjukan lukisan dan sketsa Harmen Moezahar yang mengambarkan suatu kecenderungan yang muncul secara global pada seluruh karyanya. Istilah teater yang dima
Seniman adalah manusia, selama hidupnya berlangsung dan jiwanya berkembang, sebagai manusia ia menjadi bagian dari masyarakat bahkan hasil dari masyarakat itu sendiri. Sejatinya ma
Bioskop Taman kali ini menampilkan salah satu film neorealis Italia karya Luchino Visconti yang berjudul La Terra Trema atau jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Bum