Pasar yang Gelisah
Dinamika Pedagang Pasar Atas Bukittinggi hingga Lesunya Aktivitas Pasar Sejak Pembangunan Baru Jantung Kota. Di hari pertama menginjakan kaki di kampung halaman, beberapa teman yan
Manas ciek luh! adalah ungkapan anak-anak Minangkabau di dalam sebuah permainan. Ungkapan tersebut bertujuan untuk meminta jeda sejenak bisa jadi karena kelelahan, haus, kaki kesemutan. Bahkan ungkapan manas ciek luh! bisa dijadikan sebagai alibi bagi si pemain agar terhindar dari keadaan yang kurang menguntungkan baginya. Andai saja kalimat manas ciek luh! bisa dipakai orang dewasa, maka saya akan meneriaki kalimat tersebut kepada kehidupan yang penuh tekanan, pelik dan hiruk pikuknya masya allah. Sayangnya, kehidupan bukanlah teman bermain, ia tak punya rasa toleransi. Dalam kamus manusia dewasa, Manas ciek luh! sudah
tercoreng oleh tinta hitam sehingga tiada lagi kata istirahat baginya
Begitulah benturan-benturan isi kepala saya ketika mengenang masa kecil yang menyenangkan tiba-tiba dirusak oleh kenyataan. Memang, kembali ke masa kecil menjadi suatu angan-angan ketika kehidupan dewasa penuh dengan tekanan dan stres jadi teman perjalanan. Masa kecil yang menjadi beban hanya PR dan perintah tidur siang, bagaimana mungkin beban yang sesedikit itu akan menimbulkan stres.
Semasa saya kecil dulu, saya tidak merasa terbebani dengan tanggung jawab, dan tidak terlalu memikirkan bagaimana kiat-kiat agar cepat sukses di masa depan. Mungkin yang menghubungkan saya dengan masa depan ketika masih kecil dulu hanyalah pertanyaan “Cita-cita kalian nanti apa anak-anak?”, yang sering ditanyakan oleh guru TK atau SD. Ya, hanya itu saya rasa.
Berbicara soal rindu masa kecil, salah satu yang saya rindukan adalah permainan-permainannya. Permainan yang saya mainkan bersama teman-teman dulu belum menggunakan internet tetapi yang memanfaat teknologi sudah ada seperti V-com atau Playstation. Permainan dulu sangat beragam seperti main mancik-mancik (petak umpet), kelereng, main gambar, cakbua, main lore, dan sebagainya. Untuk mengobati kerinduan tersebut saya hanya bisa bernostalgia dalam pikiran saja. Kenapa hanya dipikiran saja? Ya, karena hal-hal yang saya gambarkan diatas sangat jarang sekali saya temukan dilingkungan saya sekarang, bahkan anak dan keponakan saya tidak pernah memainkan permainan tersebut. Mungkin ada beberapa ragam permainan yang mereka tahu, namun tidak seberagam dan tidak semasif yang saya temui dulu. Teringat oleh saya, dulu permainan juga mempunyai musim-musim tersendiri, saya lupa rentang waktunya dan menjadi pertanyaan bagi saya sekarang ini, bagaimana anak-anak dulu menentukan musim-musim dari permainan tersebut?
Beberapa waktu belakangan saya ditawarkan oleh Hidayatul Azmi (Kak Ami) untuk ikut kegiatan lokakarya bersama Komunitas Ladang Rupa. Tema dari lokakarya tersebut ternyata relate dengan apa yang saya rindukan yaitu Bamain jo Bagurau. Kegiatan lokakarya ini bertujuan untuk menilisik kembali permainan-permainan tradisional yang jarang dimainkan saat sekarang ini. Dalam kegiatan ini juga, saya merasa memiliki kesempatan untuk bernostalgia secara nyata, sebab dalam kegiatan ini saya dan partisipan lain akan melakukan riset ke lapangan. Sebagaimana tujuannya tadi yaitu untuk mencari tahu permainan-permainan apa saja yang masih dimainkan oleh anak-anak sekarang. Dalam lokakarya ini, ada dua rangkaian kegiatan yang sudah saya ikuti yaitu kelas diskusi dan riset ke lapangan.
Kelas Lasuah
Sebagai bekal riset, saya dan partisipan lokakarya lainnya mengikuti beberapa kelas diskusi terlebih dahulu. Materi-materi pada kelas diskusi tersebut membahas tentang media, kepenulisan serta hal-hal yang berhubungan dengan permainan tradisional. Beruntung rasanya mengikuti lokakarya ini, sebab dalam kelas diskusinya saya banyak memperoleh pengetahuan baru tentang permainan tradisional.
Permainan tradisional yang saya ketahui hanya menghadirkan kebahagiaan saja. Lebih dari itu, ternyata permainan tradisional juga dapat mempengaruhi perkembangan serta pertumbuhan manusia. Hal tersebut saya sadari ketika mengikuti kelas diskusi “Permainan dan Psikologi” bersama seorang psikolog sekaligus founder dari Yayasan Inspirasi Pembelajar, Yosi Maulina (Kak Moli). Dalam kelas tersebut ia menjelaskan permainan tradisional dapat menjadi
media untuk membantu perkembangan kecerdasan anak. Hal itu dikarenakan adanya unsur gerak fisik yang ada pada permainan tradisional. Ternyata gerakan-gerakan yang kita lakukan
ketika bermain sewaktu kecil dulu bermanfaat. Seperti yang diungkapkan Kak Moli, gerakan dapat menjadi stimulus bagi otak yang bermanfaat bagi perkembangan kecerdasan anak.
Seperti yang kita ketahui, dalam permainan tradisional ada yang mengharuskan kita melakukan gerak loncat seperti lore dan lompat tali. Nah, dari gerak loncat tersebut Kak Moli mengatakan, meloncat dapat mempengaruhi daya imajinasi seseorang. Bayangkan! Dari gerak loncat saja, imajinasi kita diperhitungkan, bagaimana dengan gerak-gerak lain ya? Kak Moli juga menceritakan pengalaman seorang psikolog yang menangani masalah kesulitan belajar yang dialami oleh kliennya. Keluhan klien tersebut adalah ia tidak dapat menulis dengan lurus. Treatment yang diberikan adalah terapi gerak dengan cara menendang bola. Psikolog tersebut hanya menyuruh klien tersebut menendang bola tanpa mengajarkan bagaimana cara menendang bola yang benar. Klien tersebut dibiarkan mengeksplor sendiri cara menendang yang mengarah tepat pada sasaran. Alhasil, klien tersebut akhirnya dapat menulis dengan lurus.
Lumayan banyak dampak permainan tradisional terhadap perkembangan anak, bahkan permainan tradisional juga dapat menjadi media terapi bagi anak-anak yang mengalami kesulitan belajar dan gangguan perkembangan baik itu sensorik atau motorik. Sayangnya, pengetahuan seperti demikian baru ada ketika permainan tradisional tidak lagi diminati oleh anak-anak zaman sekarang, sehingga butuh disosialisasikan kembali kebermanfaatannya. Andai saja permainan tradisional ini tidak dikaji melalui perspektif psikologi ini maka kita tidak pernah tahu sisi kebermanfaatannya. Jika seperti itu, permainan tradisional ini benar-benar tidak lagi diminati bahkan hilang.
Prof. Yasraf Amir Piliang seorang guru besar Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB yang kebetulan hadir dalam kelas diskusi ini berpendapat bahwasanya permainan tradisional ini terbentuk secara natural dan merupakan bagian dari budaya masyarakat. Seandainya permainan tradisional ini hilang, maka salah satu bagian dari kebudayaan kita juga turut hilang. Bergeser sedikit dari perspektif psikologi, Prof. Yasraf menjelaskan proses hilangnya atau tidak diminatinya permainan tradisional di masa sekarang. Ia mengatakan, permainan tradisional tidak lagi diminati disebabkan revolusi industri dan masuknya era digitalisasi. Tidak hanya kehilangan peminat, permainan tradisional juga bergeser secara nilai. Revolusi industri menyebabkan masyarakat yang sebelumnya sebagai produsen menjadi konsumen. Sebagai contoh, anak-anak yang dulunya bermain perang-perangan membuat sendiri pistolnya dengan batang pisang, sekarang pistol mainan sudah diproduksi oleh industri dan disebar ke pasar dan warung-warung. Dilihat dari contoh diatas sisi kreatifitas dan imajinatif anak juga ditekan oleh industri yang menciptakan prilaku konsumtif tersebut.
Dunia digital juga menggeser kedudukan permainan tradisional, dan mengedepankan permainan yang memanfaatkan teknologi. Jika dilihat dari segi bahasa saja, kata permainan sudah bergeser ke istilah game dimasa sekarang. Era digitalisasi seperti yang diungkapkan oleh Prof. Yasraf, mengubah permainan analog ke permainan digital. Digitalisai juga mengubah konteks dari permainan tersebut. Salah satu contohnya dapat kita lihat dari konteks aturan permainan, anak-anak yang memainkan permainan tradisional cenderung membuat aturan sendiri, sedangkan anak-anak yang bermain game dengan gadget cenderung didikte oleh aturan-aturan yang tersedia. Industri telah mengubah anak-anak yang dulunya aktif menjadi pasif dalam bermain.
Dapat ditarik kesimpulan, perkembangan zaman tidak hanya mengurangi minat terhadap permainan tradisional secara fisik, tapi dibalik itu ada esensi-esensi dari permainan tradisional tersebut yang turut memudar. Untuk menyemarakkan kembali permainan tradisional menjadi tantangan tersendiri bagi kita, karena akan dibutuhkan tenaga lebih serta kolaborasi bersama masyarakat bahkan bila perlu juga turut melibatkan elemen pemerintahan. Momen lokakarya yang diadakan Komunitas Ladang Rupa ini juga dapat dijadikan pintu masuk untuk memasyarakatkan kembali permainan tradisional tersebut.
Riset Keliling Kampung
Setelah tiga hari mengikuti kelas diskusi, partisipan diarahkan untuk melakukan observasi ke lokasi di mana permainan tradisional masih menjadi bagian dari kegiatan anak-anak. Saya memilih Bukik Batabuah sebagai lokasi untuk melaksanakan observasi serta riset. Pada hari Senin, 21 Agustus 2023 di Bukik Batabuah, saya mendatangi kediaman keluarga Muhammad Zikri (Da Jik) yang merupakan senior saya semasa sekolah dulu. Alasan saya memilih Bukik Batabuah karena, Da Jik mengatakan banyak anak-anak yang masih memainkan permainan tradisional.
Karena output dari observasi ini berbentuk data, maka pada hari pertama ini saya memperoleh data dari hasil wawancara tanpa pedoman alias ngobrol lepas saja. Hasil dari obrolan saya dan keluarga Da Jik yaitu, bahwasanya, memang benar anak-anak disana masih memainkan permainan tradisional dan sangat banyak ragam permainannya. Karena saya ke lokasi pada sore hari menjelang malam, saya tidak sempat melihat langsung anak-anak disana bermain dan kebetulan hari itu adalah hari sekolah. Untuk melihat langsung mereka bermain, saya mengatur janji pada hari Minggu dengan anak-anak tersebut.
Sebelum waktu yang dijanjikan, saya teringat bahwa permainan tradisional ada yang memanfaatkan media-media sederhana dan barang-barang bekas. Untuk mengisi hari sebelum ke Bukit Batabuah lagi, saya mengumpulkan media sederhana dan barang bekas seperti karet gelang yang akan saya buat menjadi bola bekel, lalu kertas untuk permainan bola kertas, busi bekas untuk membuat petasan (lantoang-lantoang busi), dan tutup botol yang bisa dijadikan gasing. Permainan dari bahan-bahan tersebut Saya mainkan bersama dengan anak keponakan saya. Anak keponakan saya biasanya mengisi waktu kosong hanya dengan menonton TV dan bermain ayunan di halaman rumah. Karena kegiatan mereka hanya itu saja, saya mengajak mereka memainkan permainan yang saya buat dan alhasil mereka antusias dan bahagia. Sayangnya, permainan yang diatas lupa saya bawa ke Bukik Batabuah.
Selain bermain bersama anak keponakan, saya juga sempat pergi ke Canduang, ngobrol bebas bersama Mak Tana, pemilik kedai di samping Pondok Pesantren MTI Canduang. Kedai Mak Tana ini adalah tempat saya nongkrong semasa sekolah dulu. Masih seputaran permainan tradisional, saya menanyakan bagaimana masa kecil Mak Tana dan apa saja permainan yang beliau mainkan semasa kecil dulu. Permainan yang dimainkan oleh Mak Tana kebanyakan familiar seperti kuciang-kuciang (Bola Bekel), congklak, dan main tali. Namun yang menarik pada masa beliau adalah alat-alat permainannya tidak ada yang dibeli. Mak Tana berkata, pada masa beliau kecil dulu, hanya orang-orang yang memiliki ekonomi berlebih yang membeli alat-alat permainan. Sedangkan yang tidak mampu membeli hanya memanfaatkan hasil alam sekitar saja, seperti permainan lompat tali, talinya memakai serat batang pisang, congklak dengan memanfaatkan batu kerikil yang wadahnya digambar ditanah, dan untuk kuciang-kuciang, Mak Tana memakai kerikil dan jeruk bali sebagai bola bekelnya. Pada masa Mak Tana, untuk melihat status sosial seseorang dalam masyarakat bisa melalui alat-alat yang dimainkan oleh anak-anak masa itu. Selain itu, agaknya pengaruh industri terhadap permainan tradisonal juga sudah tampak pada masa kecil Mak Tana ini.
Pada hari Jum’at, saya menolong saudara saya mengantar pesanan ke daerah Gadut. Setengah perjalanan, tepatnya di Mato Aia, Gadut, saya melihat sekitar 10 orang anak-anak dengan seragam sekolah bermain di sawah yang sudah selesai panen. Saya penasaran dan sekaligus menebak kalau anak-anak tersebut sedang membuat pupuik batang padi. Sebagai informasi, pupuik batang padi adalah alat musik tiup sederhana yang terbuat dari batang padi. Sebelum memastikan hasil tebakan tadi, saya antar dulu pesanan dan berharap sekembalinya nanti anak anak tersebut masih bermain di sawah tersebut. Dan benar, mereka masih bermain di sana. Saya menepikan kendaraan dan menghampiri mereka dan tebakan saya benar. Terlihat anak-anak tersebut asik memilah batang padi mana yang bisa dijadikan pupuik. Mencoba akrab dengan mereka saya menanyakan apa kegiatan yang sedang mereka kerjakan, Mereka menjawab, “buek pupuik, Bang”. Setelah memulai percakapan saya minta tolong untuk dipilihkan batang padi dan ikut mencoba membuatnya. Beberapa kali saya coba namun tidak pernah berhasil membuat batang padi tersebut menghasilkan bunyi. Entah apa yang salah tapi setidaknya saya bisa kembali menikmati lagi kegiatan ketika masa kecil dulu. Dahulu, ketika sawah-sawah dikampung saya memasuki musim panen, saya dan teman-teman sering bermain di sawah. Kami sangat senang bermain di sawah sehabis panen. Di sawah tersebut saya dan teman-teman sibuk bermain. Ada yang membuat pupuik batang padi, bermain di tumpukan jerami, main layang-layang, dan main kejar-kejaran. Aah, bahagia sekali masa kecil saya dulu.
Setelah beberapa hari saya mengeksplor apa-apa saja yang berhubungan dengan permainan tradisional, ditambah lagi bertemu sekumpulan anak-anak yang bermain di sawah, hal itu membuat saya tidak sabar dan ingin cepat-cepat ke Bukik Batabuah. Keseruan seperti apa yang akan disajikan oleh anak-anak disana?
Hari Minggu, setelah zuhur saya bergegas berangkat ke Bukik Batabuah. Sesampai disana, halaman rumah Da Jik masih sepi. Kakak ipar Da Jik mempersilakan saya masuk ke rumah dan berkata “Anak-anak lah manunggu dari tadi tu?”. Ternyata saya terlambat dan anak-anak sudah bubar kembali. Namun beliau menyambung ucapannya “beko baliak anak-anak tu liak tu, siap ashar”. Mendengar ucapan beliau saya merasa tenang dan menunggu anak-anak tersebut.
Setelah ashar, anak-anak mulai berkumpul di halaman rumah dan saya langsung ikut nimbrung bersama mereka. Terlihat mereka langsung bermufakat untuk menentukan permainan apa yang akan dimainkan terlebih dahulu. Melihat mereka melakukan mufakat tersebut, saya berpikir bahwasanya mereka memiliki banyak stok permainan. Untuk permainan pertama mereka memilih permainan “Salipah”. Permainan Salipah ini memanfaatkan sandal dalam permainannya. Permainan ini juga mengandalkan kerja sama tim untuk memenangkannya. Ada dua tim pada permainan ini, masing-masing tim terdiri dari lima orang.
Tiga sandal mulai ditumpuk kemudian dilempar hingga jatuh dengan sandal juga oleh dua t im secara bergantian, untuk mengundi tim mana yang mengejar dan tim mana yang menumpuk kembali sendal tersebut. Tugas tim yang mengejar adalah melempar kaki tim yang lain dengan sandal. Hal ini dilakukan sebagai metode eliminasi, apabila mereka berhasil melempar semua anggota tim maka mereka akan menang. Sedangkan tugas tim yang dikejar, mereka berusaha menumpuk kembali sandal tersebut sebelum anggota tim mereka tereliminasi oleh tim yang mengejar.
Setelah salah satu tim menang lima kali, mereka kemudian mengganti permainan. Permainan selanjutnya dinamai dengan bermain “Singkong”. Permainan ini mirip dengan petak umpet, namun memakai tiga batang kayu yang akan dijaga oleh salah seorang pemain. Tiga batang kayu ditumpuk oleh si penjaga, sementara itu pemain lain bersembunyi. Tugas si penjaga mencari yang bersembunyi. Apabila ketemu, si penjaga melangkahi tumpukan kayu tersebut dengan mengucapkan “Singkong!”. Sedangkan pemain yang bersembunyi berusaha buat meruntuhkan tumpukan kayu selagi sipenjaga mencari pemain yang bersembunyi.
Banyak permainan yang dimainkan pada sore itu, seperti permainan Benteng1, main lore, kareta kulahar2, dan permainan kuis seperti ABC Ananda. Agaknya permainan-permainan tradisional ini memang sangat bermanfaat bagi anak-anak, sebab permainan-permainan tersebut melatih kerjasama dengan tim, melatih keseimbangan seperti dalam permainan lore, meningkatkan daya kreativitas, spontanitas dan sebagainya.
Sebagai penutup pertemuan dengan anak-anak tersebut, saya bermain kejar tangkap bersama mereka. Permainan diawali dengan barasuik (suit) terlebih dahulu dan beruntung bukan saya yang jaga duluan. Sebelum menyebar kami membuat aturan bahwa siapa yang sudah tertangkap ikut membantu mengejar yang lain. Kami mulai menyebar dan dikejar oleh yang jaga. Tampak satu per satu dari mereka tertangkap dan akhirnya tinggal saya sendiri. Saya berusaha menghindar dari tangkapan mereka, namun salah seorang hampir menggapai saya, dan saya langsung berteriak
Manas, manas, manas ciek luh!
Aaa… Abang caaadiak! (nada kecewa),
Salah seorang dari mereka kemudian bertanya
Baa Bang goh? Ka pai kama Bang?
Ka baliak ka kehidupan nyata liak, luh. Hahahah
Dengan serentak mereka berkata:
Eeee aalaah, Gaeeek!!!!
Dinamika Pedagang Pasar Atas Bukittinggi hingga Lesunya Aktivitas Pasar Sejak Pembangunan Baru Jantung Kota. Di hari pertama menginjakan kaki di kampung halaman, beberapa teman yan
DI era 1990-an, kita belum mengenal permainan modern seperti Playstation, online game, internet, dan komputer. Anak-anak juga belum mengenal ponsel, apalagi smartphone. Televisi pu
Andaikan seseorang meminta saya membangun jembatan atau membuat tiang jemuran, bisa dipastikan tak butuh waktu lama bagi saya untuk menolaknya sebab saya tidak tertarik sama sekali
Manas ciek luh! adalah ungkapan anak-anak Minangkabau di dalam sebuah permainan. Ungkapan tersebut bertujuan untuk meminta jeda sejenak bisa jadi karena kelelahan, haus, kaki kesem
Nagari Pandai Sikek terkenal dengan kerajinan songket yang sangat diminati oleh wisatawan terutama wisatawan asing dan wisatawan dari luar Sumatra Barat. Nagari ini terletak di kak
Kota Bukittinggi adalah kota yang dikenal sebagai kota wisata. Ada banyak pilihan tempat yang bisa dihabiskan bersama keluarga. Ada kebun binatang Kinantan, Jam Gadang, Ngarai Sian
Pameran ini merupakan pertunjukan lukisan dan sketsa Harmen Moezahar yang mengambarkan suatu kecenderungan yang muncul secara global pada seluruh karyanya. Istilah teater yang dima
Seniman adalah manusia, selama hidupnya berlangsung dan jiwanya berkembang, sebagai manusia ia menjadi bagian dari masyarakat bahkan hasil dari masyarakat itu sendiri. Sejatinya ma
Bioskop Taman kali ini menampilkan salah satu film neorealis Italia karya Luchino Visconti yang berjudul La Terra Trema atau jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Bum