TULISAN KAWAN KITA TULISAN KAWAN KITA TULISAN KAWAN KITA
TULISAN KAWAN KITA TULISAN KAWAN KITA TULISAN KAWAN KITA
August 23, 2016

Mengunjugi galeri seni rupa Taman Budaya Padang yang sedang mengadakan pameran seni rupa berjudul Matrilini#1 dengan tema Motherland. Jika dilihat selayang sama saja dengan pameran-pameran seni rupa lainnya, namun ada hal lain yang menarik dalam pameran satu ini. Dimulai dari judul dan tema, matrilini dan motherland. Sebagaimana orang Minang yang pada dasarnya menganut sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan ibu. Sungguh menarik, sebagaimana yang saya tau hanya ada dua atau tiga golongan yang hanya memakai sistem matrilineal ini. Saya mencoba mangingat kembali masa dimana saya sangat menyenangi mata pelajaran Budaya Alam Minang Kabau (BAMK), saat itu sang guru menjelaskan asal muasal garis keturunan ibu di MinangKabau. Ketika dua kakak beradik Dt. Katumanggungan dan Dt. Parpatiah Nan Sabatang berselisih mengenai sistem kekerabatan Minang yang lantas mengakibatkan salah seorang dari datuak ini (saya lupa datuak yg mana) menghunuskan senjatanya pada sebuah batu (batu batikam yang ada di Limo Kaum, Batu Sangka). Dalam penyelesaiannya, salah seorang penasehat kerajaan memberikan solusi, agar sistem kekerabatan di Minang menganut garis keturunan ibu, mengingat kedua datuak ini adalah saudara seibu, beda ayah. Begitulah cerita yang masih saya ingat sampai sekarang ini.

Pada pameran Matrilini ini, diisi oleh perupa-perupa asli Minangkabau. Jika diperhatikan seluruh karya, kita akan menemukan karya yang berusia lebih dari 20 tahun, bahkan ada karya sang maestro Wakidi yang tidak diketahui usianya. Mungkin menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi para perupa muda dapat menyandingkan karyanya dengan karya sang maesto. Dalam pameran bertema motherland ini juga banyak ditemukan karya yang bercerita tentang suasana alam Minangkabau berupa perbukitan dan lembah.


Selain itu juga ada karya yang bercerita tentang situasi zaman, seperti salah satu karya unik yang memakai sisa bungkusan permen sebagai medianya. Dengan seksama si perupa menciptakan sosok wanita yang memakai Takuluak namun dengan pakaian yang ketat dan memegang sebuah gadget. Karya yang satu ini sangat menarik perhatian saya, selain mengandung kritikan sosial terhadap apa yang sebenarnya sedang terjadi zaman ini, juga mengandung makna lain tersendiri bagi saya. Mari kita fikirkan tentang, mengapa sang perupa memakai bungkus permen sebagai medianya? Mungkin (ini menurut pendapat saya saja), si perupa ingin memperlihatkan bahwa bungkus permen merupakan sebuah pelundung, dimana jika permen dibiarkan terbuka, permen akan mengundang semut atau serangga lainnya yang akan menggerogotinya hingga habis. Refleksi terhadap wanita zaman sekarang yang senang membuat rugi dirinya sendiri. Hakikatnya, wanita Minang memiliki kedudukan yang boleh dikata penting dalam suku dan rumah gadang.

Sebagai Bundo Kanduang, wanita Minang harusnya mencerminkan keindahan akhlak, namun dalam karya yang satu ini seperti ada kecaman dan kritikan pedas terhadap kenyataan yang ada sekarang ini.
Dalam pameran Matrilini ini, jelas bukan hanya sekedar pameran yang memamerkan estetika saja, namun juga menyebarkan pesan – pesan beragam pada para penikmatnya.


Salah seorang sastrawan pernah berkata kepada saya “seni adalah rumah denga 1000 pintu masuk, orang-orang akan masuk sesuai dengan kapasitasnya sendiri. Seni itu bukan relatif, tapi dimaknai dengan berbagai cara. Kalau relatif kan pengertiannya bisa dimaknai serampangan, seni tidak seperti itu.”
Maka seni bukan hanya sekedar kebebasan berekspresi, namun juga hasil, nilai serta proses yang konsisten. Seni bukan hanya hubungan sesorang dengan dirinya sendiri, tapi juga hubungan antara seseorang dan orang – orang lainnya.

Categories: review