Pasar yang Gelisah
Dinamika Pedagang Pasar Atas Bukittinggi hingga Lesunya Aktivitas Pasar Sejak Pembangunan Baru Jantung Kota. Di hari pertama menginjakan kaki di kampung halaman, beberapa teman yan
Beberapa waktu yang lalu, cukup lama stencil wajah Oesman Effendi beserta pelukis Nashar dan Bapak Ady Rosa berukuran 5 x 3,5 meter menghiasi dinding depan gedung baru Jurusan Seni Rupa UNP. Stencil ini dibuat dalam rangka pameran kelompok Jembatan Pelangi bertajuk “Pahlawan” pada bulan Oktober 2015 di Galeri RAS. Oesman Effendi oleh kelompok Jembatan Pelangi dalam karya pra-event ini didapuk sebagai “Pelopor Kesenian Modern Indonesia”. Mungkin beberapa dari kita masih bertanya-tanya tentang Oesman Effendi, pelukis kontroversial yang lahir di Padang itu. Benarkan Oesman Effendi pelopor kesenian modern Indonesia?
Sejak sebelum dan setelah kemerdekaan Indonesia, keberadaan seni rupa modern Indonesia serta perkara identitas Indonesia sebagai akibat hubungannya dengan bangsa barat telah ramai dibincangkan oleh kalangan pelukis. Setelah corak Mooi Indie, kemunculan PERSAGI secara kritis dan visioner mendefenisikan sikap serta dasar-dasar pembentukan seni lukis Indonesia. Tokoh PERSAGI yang cukup vokal mengarak arah seni lukis Indonesia ialah S. Sudjojono, pelukis yang mengusung konsep jiwa ketok, sebuah istilah dalam bahasa jawa yang bermakna ‘jiwa tampak’. Konsep jiwa ketok menjadi kritik bagi para pelukis Mooi Indie bahwa corak lukisan yang hanya memperlihatkan pesona keelokan Indonesia itu hanyalah ‘persembunyian’ pelukis dari kenyataan yang sesungguhnya dihadapi masyarakat. Soedjojono dinobatkan sebagai bapak seni lukis modern Indonesia, sang pelopor modernisme seni di Indonesia. Trisno Sumardjo menyebut Soedjojono adalah tokoh yang giat memahamkan hakikat seni, orang pertama di Indonesia yang membuka halaman baru dalam sejarah seni lukis Indonesia.
Suatu ketika, dalam rentang perbincangan seni lukis modern itu, tepatnya dalam sebuah diskusi 27 Agustus 1969, Oesman Effendi mengajukan sebuah statement provokatif. OE, demikian beliau akrab disapa, menyatakan bahwa seni lukis Indonesia belum ada, karena belum ada “cap” Indonesia yang berciri nasional. Pendapatnya didasari penghayatan bahwa seni lukis Indonesia tidak berpijak pada akar kebudayaan Indonesia, kebudayaan yang tumbuh di kampung-kampung. Tak pelak pernyataan itu menimbulkan perdebatan panjang yang tak berkesudahan di kalangan pelukis saat itu, termasuk S. Sudjojono. “Itu omong kosong!” ucap sang bapak seni lukis modern. “Kalau ada pelukis Indonesia, ada hasil karya mereka, ada istilah-istilahnya dan pelukis Indonesia pun memiliki kedudukan sosial yang cukup terhormat, berarti kehidupan seni lukis Indonesia telah ada. Maka bagaimana orang bisa mengatakan seni lukis Indonesia itu tidak ada?”
Adu argumen antara Soedjojono dan Oesman Effendi menimbulkan polemik di Koran Kompas pada awal 70-an. Begitupun pembahasan panas antar para pelukis dan kritikus di surat kabar dan majalah lainnya. Walaupun bukanlah yang pertama kali membahas fenomena modernisme Indonesia, OE dianggap pemicu perdebatan tentang ada tidaknya seni lukis modern Indonesia itu.
Dalam makalah Diskusi Pesta Seni Jakarta II Dewan Kesenian Jakarta 1 – 10 November 1969, OE menulis, “Seni lukis Indonesia adalah yang diciptakan oleh pelukis Indonesia yang bertolak dari ilmu lukis Barat atau Modern di abad ke-20. Seni lukis Indonesia itu mesti diukur dengan ukuran yang dipakai dalam dunia Internasional. Pengaruh sifat dari air, bumi, iklim dan alam kepulauan Indonesia yang membentuk corak dan arah dari seni dan kebudayaan penduduknya, sama halnya dengan bentuk dan dasar serta politik Republik Indonesia”. OE menyatakan bahwa yang dilakukan pelukis Indonesia hanya meniru apa yang telah dilakukan pelukis Barat tanpa adanya cap atau identitas yang menandai kepribadian pelukis. “Cap itu dengan sendirinya akan diperoleh kalau seorang seniman penuh tekun dan intens mencipta menurut panggilan jiwanya yang murni. Saya percaya bumi dan alam Indonesia akan mempengaruhi corak seninya. Seni lukis di Indonesia sedang tumbuh, belum ada, ia baru dalam proses mencari untuk menemukan bentuk khasnya.”
Perdebatan yang dipicu oleh pernyataan OE menjadi semakin kronis dan mencapai puncaknya di tahun 80-an. Pernyataan itu menjadi semacam sindrom yang menghantui pikiran para pengamat seni dalam diskusi-diskusi, bahkan hingga saat ini. Jangan-jangan OE benar?
Gejala yang timbul sejak dekade 80-an menunjukkan upaya seniman melakukan ekspolari keunikan personal sebagai identitas artistiknya dengan modal latarbelakang sosial, budaya, dsb. Gejala ini dimulai oleh ‘Pernyataan Desember Hitam’ tahun 1974 yang menentang keajegan dalam dalam sistem pendidikan seni yang dirasakan mengekang kebebasan untuk bereksperimen. Gugatan itu kemudian disusul oleh Gerakan Seni Rupa Baru yang berusaha meniadakan batas tajam antara lukisan, grafis, dan patung sebagaimana tradisi yang diwariskan seni rupa Barat. Menurut Diyanto, pergeseran paradigma estetik tersebut disertai pencarian identitas ke-Indonesia-an ramai kembali di tahun 80-an dan menjadi tantangan bagi perupa generasi berikutnya, antara lain Eddy Hara, Nindityo, Heri Dono, Agung Kurniawan, Hanura Hosea, S. Tedy D, Ugo Untoro, dan beberapa nama lain. Nama-nama itu muncul dalam pameran Biennale IX tahun 1993, sebagaimana dituliskan Jim Supangkat merupakan generasi perupa pasca pemberontakan, yang tidak lagi menentang modernisme sebagaimana dilakukan generasi 70-an, melainkan meninggalkannya. Pameran ini sering disebut penanda perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia dengan loncatan ke arah perubahan besar, sebuah seni rupa yang meninggalkan batas-batas konvensional yang selama ini dirasa mengekang kreativitas seniman.
Tampaknya wacana Identitas menjadi sangat krusial dalam khasanah seni kontemporer ini. Menurut Diyanto, gelombang perubahan pada 90-an tercermin langsung melalui frekuensi pameran lintas negara yang meningkat dengan wacana pencarian identitas baru seni rupa Indonesia sebagai seni rupa non-Barat. Sementara Enin supriyatno mencatat formulasi isu mengenai identitas untuk memahami beragamnya fenomena seni kontemporer di berbagai negara dan bangsa, tengah ribut diusahakan oleh seniman, kurator dan profesional seni dengan cepatnya perubahan dalam arah pendekatan akhir abad 20 yang tak terduga ini.
Terlepas dari konteks waktu dulu atau kini, barangkali upaya penggalian identitas artistik yang dilakukan seniman-seniman pasca pemberontakan itu, adalah proses yang ideal berdasarkan pemikiran OE pada zamannya. Jangan-jangan, OE telah menduga konsep-konsep yang ‘mengatur’ seniman pada masa perintisan seni lukis Indonesia seperti jiwa ketok, akan berakhir? Apakah OE telah memperkirakan era yang kita sebut kontemporer?
Satu gejala lagi yang menonjol dalam praktik seni kontemporer ini, yaitu perkembangan pasar dan dominasi kolektor dalam praktik artistik seniman. Tidak jarang perupa menggantungkan idealisme kontemporernya pada selera kolektor. Tentang hal kejujuran, OE pernah mengatakan bahwa pelukis Indonesia jorok, karena tidak adanya sikap yang tegas yang mampu memilih melalui proses pemikiran yang mendalam terhadap nilai. Bagi OE, kejujuran akan melahirkan tanda-tanda kepribadian yang harus dibentuk dalam diri seniman. Perjuangan dalam seni lukis harus bersih dari sifat jiwa dan tindakan serba rendah dan kotor. Barangkali inilah alasan OE memutuskan untuk tidak menjual karya-karyanya. Ketika OE seharusnya menjadi panutan keorisinilan, kini malah banyak perupa yang menjajakan idealismenya ke pangkuan kolektor.
Tentang Oesman Effendi
Oesman Effendi ialah seorang tokoh seni lukis Indonesia kelahiran Padang, 28 Desember 1919 yang berasal dari Koto Gadang, Sumatera Barat. OE merantau ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di teknik sipil Konningen Wilhelmina School, tahun 1934 – 1939. Walaupun tidak pernah mendapatkan pendidikan seni secara formal, dengan bakat melukisnya OE telah memenangkan beberapa kali lomba desain seperti sanyembara lambang Exlibris, Perpustakaan Batavia Kunstkring, dan rancangan piagam olahraga Pemerintah Kolonial Belanda. OE jugalah yang merancang lambang BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional), dan logo “Cipta” Dewan Kesenian Jakarta yang masih digunakaan hingga saat ini. Tahun 1951, Bank Indonesia mengutus OE ke Belanda untuk merancang mata uang Republik yang pertama, yaitu Oeang Republik Indonesia (ORI) pecahan Rp 50,-. Tahun 1961 OE memperoleh penghargaan untuk karya-karya seni grafisnya dari Academia della Arte El Disegno, Italia dan sejumlah pengharaan lainnya.
Sejak tahun 1943 OE sudah mulai menulis tentang seni rupa untuk Kantor Berita Pendudukan Jepang, Domei, dan beberapa majalah dan surat kabar di Jakarta. Di masa ini OE banyak membuat kopian hitam-putih karya-karya Michaelangelo, Rembrant, Cezzane dan Flash Gordon. Bisa dibilang, pengalaman melukis serta pengetahuan dan sejarah seni didapatkan OE secara otodidak. Hingga pada tahun 1947, OE bergabung dengan SIM (Seniman Indonesia Muda) pimpinan S. Soedjojono di Solo dan mulai belajar melukis dengan sungguh-sungguh.
Selain melukis, OE juga dikenal sebagai organisator yang baik. Tahun 1968, OE menjadi salah satu pendiri Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki (TIM) bersama Trisno Sumadjo, Dewan Kesenian Jakarta dan Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (sekarang Institut Kesenian Jakarta). OE juga mengajar seni rupa di Jurusan Arsitektur Universitas Tarumanegara (1970 – 1971).
OE adalah pelukis abstrak yang memiliki keistimewaan pada penguatan spiritual dan kedalaman jiwa yang khas dengan meletakkan tasawuf sebagi dasar dalam berkarya seni. Dalam karyanya OE banyak menampilkan bentuk-bentuk irama alam yang ia olah melalui suatu pengalaman trasedental. Selama karirnya OE telah menggelar sekitar sepuluh kali pameran tunggal dan mengikuti beberapa kali pameran bersama di dalam dan luar negeri.
Tahun 1972 OE balik mudik ke kampung halamannya, Koto Gadang, dengan alasan memelihara integritas terhadap orang banyak yang dianggapnya sebagai cara untuk mendidik dirinya menjadi manusia yang utuh. Selama di kampung, OE melakukan dakwah umum dalam segala bidang dan menyusun ensiklopedi tentang Koto Gadang. Disamping itu, OE tetap meneruskan kegiatan melukisnya. OE juga mendirikan sebuah gedung pusat kesenian di Koto Gadang yang masih berdiri hingga saat ini.
OE meninggal di usianya yang ke 66 pada tahun 1985 dikarenakan sakit. Dengan statemen-statementnya yang kontroversial, tokoh seni rupa Minang ini telah menjadi bagian besar dalam perbincangan seni lukis masa perintisan seni rupa modern Indonesia. Dengan kekuatannya sendiri wacana OE hadir sebagai antitesis dari konsep-konsep seni lukis yang diusung Soedjojono. OE dengan buah-buah pemikirannya telah membawa nama orang Minang ke tempat yang lebih dipertimbangkan.-
Hidayatul Azmi
Dinamika Pedagang Pasar Atas Bukittinggi hingga Lesunya Aktivitas Pasar Sejak Pembangunan Baru Jantung Kota. Di hari pertama menginjakan kaki di kampung halaman, beberapa teman yan
DI era 1990-an, kita belum mengenal permainan modern seperti Playstation, online game, internet, dan komputer. Anak-anak juga belum mengenal ponsel, apalagi smartphone. Televisi pu
Andaikan seseorang meminta saya membangun jembatan atau membuat tiang jemuran, bisa dipastikan tak butuh waktu lama bagi saya untuk menolaknya sebab saya tidak tertarik sama sekali
Manas ciek luh! adalah ungkapan anak-anak Minangkabau di dalam sebuah permainan. Ungkapan tersebut bertujuan untuk meminta jeda sejenak bisa jadi karena kelelahan, haus, kaki kesem
Nagari Pandai Sikek terkenal dengan kerajinan songket yang sangat diminati oleh wisatawan terutama wisatawan asing dan wisatawan dari luar Sumatra Barat. Nagari ini terletak di kak
Kota Bukittinggi adalah kota yang dikenal sebagai kota wisata. Ada banyak pilihan tempat yang bisa dihabiskan bersama keluarga. Ada kebun binatang Kinantan, Jam Gadang, Ngarai Sian
Pameran ini merupakan pertunjukan lukisan dan sketsa Harmen Moezahar yang mengambarkan suatu kecenderungan yang muncul secara global pada seluruh karyanya. Istilah teater yang dima
Seniman adalah manusia, selama hidupnya berlangsung dan jiwanya berkembang, sebagai manusia ia menjadi bagian dari masyarakat bahkan hasil dari masyarakat itu sendiri. Sejatinya ma
Bioskop Taman kali ini menampilkan salah satu film neorealis Italia karya Luchino Visconti yang berjudul La Terra Trema atau jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Bum