Pasar yang Gelisah
Dinamika Pedagang Pasar Atas Bukittinggi hingga Lesunya Aktivitas Pasar Sejak Pembangunan Baru Jantung Kota. Di hari pertama menginjakan kaki di kampung halaman, beberapa teman yan
Membaca eksistensi Oesman Effendi dalam penerawangan masa lalu, seperti menemukan namanya di antara kata-kata dalam lembaran kliping-kliping surat kabar dan majalah yang telah menguning, memahami setiap peristiwa, menghubungkan dan menyusunnya dalam sebuah garis perjalanan hidup. Memang, surat kabar menempati posisi paling penting dalam upaya pembacaan sejarah seni rupa kita. Media publikasi di masa lalu ini menyelamatkan keberadaan sejarah seni rupa Indonesia dengan menyediakan kolom budaya bagi setiap pemberitaan peristiwa kesenian di masa lampau. Sebut lah itu Mimbar Indonesia, Kompas, Berita Buana, Sinar Harapan, Suara Karya, Pelita, dan lain-lain. Untungnya lembaga-lembaga seperti Dewan Kesenian Jakarta, Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, dan Indonesian Visual Art Archive sejak awal aktif mengumpulkan kepingan-kepingan perjalanan seni rupa itu dalam pengarsipan yang cukup rapi dan sistematis.
Selama lebih dari dua dekade, nama Oesman Effendi banter dalam pemberitaan di surat kabar sejak tahun 70-an. Polemik yang disebabkannya dengan pernyataan kontroversial, “seni lukis Indonesia belum ada” pada tahun 1969, menyebabkan ia menjadi salah satu tokoh seni lukis yang namanya paling sering disebut dalam pemberitaan. Adu argumen antar pelukis dan kritikus yang dipancing Oesman Effendi berputar tidak jauh sekitar permasalahan ada dan tiadanya seni lukis di Indonesia.
Apabila kita menelusuri kembali, jauh sebelum polemik itu, buah-buah pemikiran OE tentang modernisme dan identitas seni lukis Indonesia telah tampak sejak awal ia memutuskan untuk serius mendalami seni lukis lewat beberapa tulisannya dalam surat menyurat dengan Basuki Resobowo tahun 1949. Dapat kita temukan benih pemikiran itu tumbuh dari pemahaman OE tentang modernisme sejak ia membaca buku-buku kebudayaan barat dan menyaksikan pameran-pameran pelukis eropa semasa di Sekolah Menengah. Pemahaman itu berlanjut pada keputusannya untuk melakukan studi intensif terhadap relief candi Borobudur selama sepuluh tahun di Museum Pusat Jakarta dalam rangka pencarian suatu identitas ke-Indonesia-an. Pemikiran itu berbuah pada berbagai sikap kesenian yang tampak pada tulisan-tulisan dan karyanya.
Dalam konteks masa kini, menjadi penting untuk memahami semangat OE dengan menyingkap dasar-dasar pemikirannya tentang yang mana itu seni lukis Indonesia. Pemikiran yang akhirnya menghantarkan OE pada keputusan bulat untuk menetap di kampung halamannya Koto Gadang, meninggalkan segala kemapanan di Ibu Kota setelah sekian banyak pencapaian yang ia peroleh. OE memutuskan untuk mudik dan menumbuhkan kesenian di daerahnya, kampung yang ia sebut akar kebudayaan Indonesia.
Bersama penggandaan kliping yang kurator peroleh dari lembaga-lembaga tersebut di atas, dipamerkan pula koleksi benda milik Oesman Effendi : lukisan, buku, sketsa, dan piringan hitam yang masih disimpan keluarga. Namun deretan arsip ini belum mampu merepresentasikan garis perjalanan hidup Oesman Efffendi yang utuh. Masih banyak kepingan puzzle perjalanan hidupnya yang belum ditemukan.
Hampir tanpa sadar, kita berada di ambang kepunahan akan arsip-arsip berharga. OE sebagaimana hampir sebagian besar orang-orang Minangkabau yang hebat dan penting di masa lampau, turut menjadi tiang peradaban bangsa ini. Beberapa diantaranya perantau, jauh dari kampung dan sepertinya keberadaannya tidaklah dikira sepenting itu di masa depan oleh keluarga. Kebutuhan melestarikan orang-orang hebat ini sering tidak disadari keluarga sebagai pewaris informasi vital,
atau setidaknya sebab berbagai keterbatasan, penyelamatan akan informasi-informasi itu belum menjadi orientasi utama. Lukisan, tulisan, atau karya-karya lain yang ditinggalkan pun tidak terselamatkan dengan cukup baik. Demikianlah, kita butuh lebih banyak pelaku yang mau bekerja dan menulis. Kita harus bergerak lebih cepat dari laju kerusakan arsip yang berserakan entah dimana dan nyaris punah, dan gugurnya sumber-sumber informasi yang masih hidup.
Menyambut 99 tahun eksistensi tokoh seni lukis modern Oesman Effendi yang terus hidup dalam gagasan-gagasannya, Pameran Arsip 99 Tahun Oesman Effendi mengajak kita menyusuri jejak-jejak perjalanan Oesman Effendi dalam garis waktu. Selama pameran berlangsung, diputarkan juga rekaman ceramah Oesman Effendi pada 18 Juli 1976 di Taman Ismail Marzuki, berjudul Gerakan Seni Lukis di Sumatera Barat. Demikianlah, semoga pameran ini dapat memantik wacana untuk melakukan berbagai kerja lanjutan sehubung cita-cita Oesman Effendi : menumbuhkan kesenian dari kampung. Selamat membaca dan menyusur!
Padang, Desember 2018
Dinamika Pedagang Pasar Atas Bukittinggi hingga Lesunya Aktivitas Pasar Sejak Pembangunan Baru Jantung Kota. Di hari pertama menginjakan kaki di kampung halaman, beberapa teman yan
DI era 1990-an, kita belum mengenal permainan modern seperti Playstation, online game, internet, dan komputer. Anak-anak juga belum mengenal ponsel, apalagi smartphone. Televisi pu
Andaikan seseorang meminta saya membangun jembatan atau membuat tiang jemuran, bisa dipastikan tak butuh waktu lama bagi saya untuk menolaknya sebab saya tidak tertarik sama sekali
Manas ciek luh! adalah ungkapan anak-anak Minangkabau di dalam sebuah permainan. Ungkapan tersebut bertujuan untuk meminta jeda sejenak bisa jadi karena kelelahan, haus, kaki kesem
Nagari Pandai Sikek terkenal dengan kerajinan songket yang sangat diminati oleh wisatawan terutama wisatawan asing dan wisatawan dari luar Sumatra Barat. Nagari ini terletak di kak
Kota Bukittinggi adalah kota yang dikenal sebagai kota wisata. Ada banyak pilihan tempat yang bisa dihabiskan bersama keluarga. Ada kebun binatang Kinantan, Jam Gadang, Ngarai Sian
Pameran ini merupakan pertunjukan lukisan dan sketsa Harmen Moezahar yang mengambarkan suatu kecenderungan yang muncul secara global pada seluruh karyanya. Istilah teater yang dima
Seniman adalah manusia, selama hidupnya berlangsung dan jiwanya berkembang, sebagai manusia ia menjadi bagian dari masyarakat bahkan hasil dari masyarakat itu sendiri. Sejatinya ma
Bioskop Taman kali ini menampilkan salah satu film neorealis Italia karya Luchino Visconti yang berjudul La Terra Trema atau jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi Bum