TULISAN KAWAN KITA TULISAN KAWAN KITA TULISAN KAWAN KITA
TULISAN KAWAN KITA TULISAN KAWAN KITA TULISAN KAWAN KITA
November 9, 2024
Harimau Pasar Atas Bukittinggi

Dinamika Pedagang Pasar Atas Bukittinggi hingga Lesunya Aktivitas Pasar Sejak Pembangunan Baru Jantung Kota.

Di hari pertama menginjakan kaki di kampung halaman, beberapa teman yang juga bertahun-tahun tak pulang bertanya, “masih dingin Bukttinggi Nggy?” Saya menjawab. “Airnya masih dingin, bikin gigi ngilu kalo gosok gigi.” Lima tahun sudah saya tak pernah pulang ke kampung halaman. Rindu, ridu sekali. Rindu makanan dan jajanan kota ini, rindu udara sejuknya, dan yang paling saya rindukan adalah suasana yang ramai di jantung kota, Jam Gadang dan Pasa Ateh. Sebelum sempat melihat rupa Jam Gadang dan Pasar Atas yang baru, saya menyambangi salah satu rumah kerabat. Dulu kakek dan nenek tersebut memiliki usaha konveksi di rumah. Sekarang mereka sudah jatuh sakit dan tidak bisa kemana-mana. Melihat mereka sudah tak memiliki karyawan lagi, saya mulai membuka obrolan tentang bisnis konveksi mereka.

“Pasar sekarang sepi, makanya nenek udah nggak jualan lagi. Sudah banyak sekali toko yang tutup di Pasar Aur Kuning sekarang.”

Ternyata, bukan hanya kerabat saya, beberapa teman juga yang mengeluhkan hal yang sama.

“Pasar sekarang sepi, sudah tak banyak yang berdagang. Banyak toko yang tutup. Liat saja Pasar Atas yang baru, banyak kios yang kosong.”

Dari info tersebut, saya mulai memperhatikan lingkungan sekitar. Selain bertani, mayoritas masyarakat di kelurahan ini terkenal dengan berdagang pakaian dan konveksi. Dulu seingat saya, banyak di sekitaran rumah yang membuka bisnis konveksi dan bordiran. Tapi sekarang, ruko tersebut sudah banyak berganti dan bahkan kosong.

Saya mulai memutari pusat Kota Bukittinggi dan masuk pasar untuk sekedar melihat suasana. Ternyata benar info yang saya dapatkan. Pasar sekarang sepi. Banyak toko dan kios yang tutup mulai dari Pasar Atas, Pasar Putih, sepanjang Pasar Lereng hingga Pasar Bawah. Bahkan dalam gedung Pasar Atas yang baru juga sepi.

Pada penghujung tahun 2017, gedung Pasar Atas Bukittinggi mengalami kebakaran yangmenelan kurang lebih 800 toko dan kios. Pemerintah memulai rekonstruksi Pasar Atas dan pelantaran taman Jam Gadang pada Agustus 2018 hingga Desember 2019. Ketika saya meninggalkan kota ini untuk merantau, jantung kota ini masih ditutupi oleh pembatas proyek pembangunan. Inilah kali pertama saya menjajaki Pasar Atas dengan tampilan dan suasana barunya. Entah mengapa, Jam Gadang yang menjadi landmark Kota Bukittinggi terasa lengang dan panas. Membuat saya menjemput kenangan terakhir di tempat itu. Sebelum pembangunan, Jam Gadang dipenuhi para pedagang kaki lima yang menjual berbagai makanan, aksesoris, bahkan ramai jasa tato temporer dan lukis wajah. Saya mencari-cari beberapa pohon besar disana, ternyata sudah berganti dengan tanaman-tanaman baru yang belum rindang. Berjalan di Jam Gadang terasa sangat panas dan angin yang berhembus kini tak lagi membawa sejuk.

Saya disuguhkan dengan gedung Pasar Atas yang baru. Gedung modern yang menggantikan Gedung Pasar Atas lama yang memiliki dua patung harimau di depan pintu masuknya dulu. Gedung baru yang seperti mall ini tampak tak seramai mall-mall di kota besar lainnya. Tersirat rasa sepi yang kental dari Pasar Atas Bukittinggi saat ini.

Rekonstruksi jantung kota ini ternyata penuh dimanika. Dengan mengusung konsep green building, pemerintah kota ingin menghadirkan pasar moderen yang mengedepankan keberlanjutan lingkungan serta mampu memulihkan aktivitas perdagangan kota Bukittinggi pasca kebakaran.

Dengan kapasitas lebih dari 800 toko dan kios, diharapkan Gedung Pasar Atas yang baru ini akan lebih nyaman untuk dikunjungi wisatawan dan meningkatkan perekonomian masyarakat Bukittinggi.

Akan tetapi, problematika Pasar Atas dimulai Ketika muncul kebijakan sehubungan dengan alokasi dan regulasi terhadap para padagang Pasar Atas. Konflik pertama yang muncul yaitu persoalan kartu kuning perizinan pemilik toko/kios lama yang terbakar. Setelah pembangunan Pasar Atas selesai dan mulai diresmikan, pemerintah kota Bukittinggi melalui Dinas Koperasi, UKM dan Perdagangan mengeluarkan pengumuman kepada para pedagang untuk mendaftarkan kembali kios mereka dengan tenggat waktu yang ditentukan. Hal ini memungkinkan untuk seluruh warga Bukittinggi dapat menyewa kios di bangunan Pasar Atas yang baru. Pengumuman tersebut memicu beberapa aksi pedagang lama Pasar Atas yang sudah memiliki kartu kuning sebelumnya. Kebanyakan pedagang lama merasa keberatan dengan aturan tersebut. Ratusan kios yang terbakar pada tahun 2017 lalu rata-rata sudah memiliki kartu kuning dan terdaftar sebagai pemilik kios. Pedagang yang mengalami kerugian akibat kebakaran merasa tidak di prioritaskan oleh pemerintah kota.

Wajar saja jika para pedagang yang bertahun-tahun bertopang pada kios di Pasar Atas merasa seperti jatuh tertimpa tangga. Belum lagi memulihkan ekonomi akibat kerugian kebakaran, mereka dihadapkan dengan sistem yang juga tidak menguntungkan mereka. Permasalahan kartu kuning ini juga dialami oleh pemilik toko dan kios di Pasar Aur Kuning Bukittinggi. Pada 2019 permerintah kota Bukittinggi juga memberlakukan kenaikan tarif retribusi sekitar 600 persen. Selain itu pemerintah juga mengganti hak toko dari hak guna bangunan menjadi hak sewa. Akibatnya, kartu kuning yang sudah dimilliki pedagang Pasar Aur tidak dapat dihunakan untuk dijual, dibalik nama, atau dijadikan jaminan bank. Kenaikan tarif ini mencakik pedagang, sedangkan kartu izin mereka tidak dapat digunakan untuk berbagai hal.

Tidak hanya itu, pedagang lama juga merasa keberatan dengan pengalokasian kios Pasar Atas. Banyak pedagang lama mengeluhkan posisi kios yang kurang strategis dibanding kios pedagang baru yang menadapat tempat di bagian depan Gedung. Mereka menganggap penempatan ini membuat kios mereka sepi, sedangkan mereka harus membayar tarif retribusi yang tinggi.

Covid-19, Digitalisasi dan Pilkada

Permasalahan pasar kota Bukittinggi juga diperparah oleh pandemi covid pada 2020. Pembatasan aktifitas Masyarakat jelas-jelas membuat perekonomian anjlok. Kini persoalan pasar yang sepi masih menjadi polemik yang sepertinya tak berkesudahan. Berakhirnya pandemipun tak membuat aktivitas perekonomian di pasar membaik. Muncul persoalan baru Ketika online shop dan e-commers sebagai salah satu alternatif saat pandemi tetap bertahan bahkan setelah covid dinyatakan berakhir.

Nyatanya, kita tidak bisa mengelak arus digitalisasi saat ini. Dengan menghemat ruang dan waktu, digitalisasi memberi manfaat yang cukup besar bagi masyarakat. Sekarang, orang-orang tak perlu ke pasar untuk berbelanja kebutuhan, bahkan kebutuhan pokok sekalipun. Semua sudah dapat teratasi hanya dengan genggaman tangan. Tantangan inilah yang belum sepenuhnya dipersiapkan para pedagang pasar tradisional. Dengan banyak pertimbangan, pedagang tradisional terlebih para pedagang grosiran belum siap untuk memanfaatkan perkembangan digital saat ini. Karena itu tak sedikit para pedagang yang bertahan dengan kios yang sepi tanpa pembeli.

Memasuki tahun kampanye pilkada ini, salah satu permasalahan Pasar Atas yang telah bergulir lebih dari 4 tahun ini sedikit memberi kelegaan untuk para pedagang. Pada bulan September lalu, Pemerinyah Kota Bukittinggi telah membagiakan 800 lebih kartu kuning kepada pedagang Pasar Atas dan kios pedagang di Stasiun Lambuang. Semoga saja dengan langkah pertama ini, pemerintahan kota Bukittinggi yang baru kelak, dapat menyelesaikan permasalahan pasar Bukittinggi satu persatu. Termasuk perihal kurangnya gairah masyarakat untuk dapat Kembali ke pasar tradisional.

Baiknya sama-sama kita pahami bahwa kemajuan digital juga harus menjadi perhatian bersama. Interaksi sosial di era digital sekarang sangatlah bias. Perlu diingat bahwa Bukittinggi bukanlah kota yang besar dan penuh kemacetan. Bukan juga kota yang sulit di akses transportasi. Jadi masyarakat Bukittinggi sendiri harusnya tidak merasa nyaman dengan segala aktivitas di dunia digital, baik itu bersosial media, atau berbelanja secara online. Dibutuhkan kesadaran akan pentingnya menghidupkan kembali aktifitas sosial di pasar tradisional sebagai pilar peradaban dan budaya. Saya rasa ini menjadi PR bagi pemerintah dan masyarakat itu sendiri untuk Kembali menjadikan pasar sebagai tempat bertukar informasi dan interaksi yang nyata .

Bagi saya sendiri, menjajaki Pasar Atas membawa saya pada kenangan- kenangan masa sekolah. Masa remaja yang menyenangkan bersama teman-teman ketika berjalan mengelilingi kios-kios aksesoris, mendatangi kios buku langganan, mengosongkan tas sekolah untuk diisi komik-komik rental, dan mengitari kios-kios Pasar Atas untuk sekedar cuci mata. Menjadi akrab dengan beberapa pedagang memberi keuntungan pada saya waktu itu, semisal potongan harga, atau penawaran barang baru yang menarik. Berinteraksi dengan pedagang pasar menciptakan suatu keakraban dan keluarga baru yang hangat. Kini, melihat Pasar Atas yang sepi, menghadirkan kekosongan dan rasa gelisah di hati saya.

Catatan ilustrasi: Di depan bangunan pasa ateh dulu sebelum kebakaran, terdapat 2 patung harimau yang menghadap Jam Gadang selurusan dengan gunung Marapi. Patung harimau tersebut merupakan perlambangan harimau Champo sebagai binatang kebesaran masyarakat Luhak Agam dan Banda Ketek disekitaran Luhak Agam. Jam Gadang dan patung harimau menjadi simbol ‘Bukittinggi Koto Rang Agam’ seperti dalam lagu Andam Oi yang didendangkan oleh Misramolai. Sejak pembangunan, ‘tak ada lagi ‘inyiak’ yang bersiap gagah ke arah Luhak Nan Tuo (Luhak Tanah Datar) itu. Kini Jam Gadang berdiri sendiri di tengah Bukittinggi yang tak lagi sejuk dan menanpung abu Marapi yg sekarang sering menjulang tinggi.

Penulis: Anggy Rusidi

Ilustrasi: Ghinna Vadilla

Categories: Blog